Jika Kartini Hidup di Era Sekarang dan Bermain Media Sosial: Menerobos Batas Digital untuk Emansipasi Zaman Now


"Jika Kartini Hidup di Era Sekarang dan Bermain Media Sosial: Menerobos Batas Digital untuk Emansipasi Zaman Now"


Oleh: Hadi Hartono



Pengantar: Kartini, Zaman, dan Zaman Now

Jika Raden Ajeng Kartini masih hidup di era digital, mungkinkah ia membuat thread panjang di X (dulu Twitter) tentang ketimpangan gender? Atau mungkin membagikan tips literasi melalui reels Instagram? Artikel ini mencoba mengimajinasikan bagaimana sosok Kartini bertransformasi jika hidup di abad ke-21, di tengah gempuran algoritma, culture war, dan masyarakat yang haus validasi digital.





 Sosok Kartini dalam Imajinasi Gen Z

Kartini kerap diposisikan sebagai sosok perempuan yang ‘kalem tapi cerdas’, ‘halus tapi kritis’. Namun, di era Gen Z yang ekspresif dan vokal, Kartini kemungkinan besar tampil dengan persona lebih edgy. Bukan hanya mengenakan kebaya untuk konten nostalgia, tapi juga menyuarakan isu-isu perempuan dengan gaya kontemporer: estetika, memes, hingga podcasting.



 Dunia Digital dan Kekuatan Narasi Perempuan

Kartini hidup di masa ketika narasi perempuan dibatasi oleh pagar adat dan kolonialisme. Kini, narasi itu justru menjadi kekuatan utama di media sosial. Platform seperti YouTube, TikTok, dan Instagram menjadi panggung bagi perempuan untuk mengontrol kisah mereka sendiri, dan dalam konteks ini, Kartini akan menjadi pionir digital storytelling.



 Kartini sebagai Influencer?

Tidak dalam pengertian endorse skincare, tapi sebagai thought leader. Seorang Kartini digital mungkin mengangkat konten tentang literasi perempuan, ketimpangan pendidikan, bahkan kebijakan negara. Ia bisa menjadi influencer dengan pengaruh substantif, bukan hanya followers banyak.



Surat Berganti Caption: Gaya Baru Perlawanan

Surat-surat Kartini kini mungkin berubah bentuk menjadi caption Instagram panjang, tweet berseri, atau esai di Medium. Gaya bisa berubah, namun konten tetap tajam. Ia akan memakai bahasa yang relatable tapi sarat makna, memikat sekaligus menggugah

.


Media Sosial sebagai Ruang Emansipasi

Media sosial, meskipun penuh toksisitas, tetaplah ruang terbuka untuk advokasi. Kartini bisa menjadikannya senjata emansipasi—mempromosikan edukasi anak perempuan, mendekonstruksi patriarki, serta memperjuangkan kesetaraan upah dan representasi perempuan dalam politik.



 Kartini dan Aktivisme Digital

Kartini akan aktif dalam kampanye tagar: dari #HapusPerkawinanAnak hingga #TolakRKUHP. Ia akan menggagas petisi online, diskusi daring, dan mungkin menjadi host di podcast “Kartini’s Room” yang membahas intersectionality dari perspektif Nusantara.



Dari Dapur ke TikTok: Emansipasi 4.0

Kartini tidak akan anti dapur, tapi akan mendekonstruksi dapur sebagai ruang ideologis. Ia bisa jadi membuat TikTok edukatif soal sejarah perempuan Nusantara sambil memasak makanan tradisional—menggabungkan tradisi dan progresivitas dengan cara khas generasi sekarang.



Kartini, Cancel Culture, dan Kritik Feminis

Dalam era cancel culture, Kartini mungkin tak luput dari kritik. Namun ia akan menanggapinya dengan dialektika cerdas. Ia bisa menjadi jembatan antara feminis konservatif dan radikal, dan tetap menjunjung etika intelektual yang jernih dalam debat publik.



Relevansi Gagasan Kartini untuk Perempuan Masa Kini

Apa yang ditulis Kartini tentang pendidikan perempuan, kawin paksa, dan kemiskinan struktural masih relevan. Artikel ini akan menelusuri bagaimana gagasannya bisa diintegrasikan ke dalam program-program berbasis komunitas yang aktif di media sosial saat ini.



Konten Kartini: Dari Quotes hingga Vlog Literasi

Ia akan memproduksi konten inspiratif: video YouTube tentang “Cara Membaca Dunia”, carousel Instagram soal biografi perempuan dunia, hingga TikTok challenge “Kebaya for Change”. Semua untuk membumikan gagasan dengan cara yang bisa diakses semua kalangan.



Followers, Engagement, dan Demokratisasi Suara

Kartini akan memanfaatkan engagement bukan untuk ketenaran, tapi untuk mengukur resonansi ide. Ia akan membuka ruang diskusi, bahkan mungkin membuat komunitas daring untuk mentoring perempuan muda dari daerah-daerah.



Jejak Digital sebagai Jejak Sejarah

Kalau dulu surat-suratnya dikompilasi menjadi buku, kini jejak digital Kartini bisa menjadi artefak masa depan. Thread-nya di X bisa menjadi kajian feminisme digital, dan vlog-nya bisa jadi bahan ajar sosiologi.



Kartini dan Diskursus Tubuh Perempuan di Instagram

Dalam era body positivity, Kartini akan berdiri bersama perempuan dalam melawan narasi toksik tentang tubuh ideal. Ia mungkin membuat konten tentang tubuh sebagai medan politik, dan menentang iklan-iklan pemutih kulit yang memanipulasi standar kecantikan.



Feminisme Populer dan Tantangan Superficiality

Kartini akan menyadari bahayanya ‘feminisme instan’ yang hanya viral tapi tidak membumi. Ia akan menantang konten-konten pseudo-feminis yang lebih mementingkan estetik dibanding esensi.



Mendidik Lewat Media Sosial: Kartini sebagai Edufluencer

Sebagai edukator digital, ia bisa berkolaborasi dengan guru, aktivis, dan akademisi. Ia bisa membuat series edukasi tentang sejarah perempuan, peran ibu dalam ekonomi lokal, hingga analisis UU yang berdampak pada perempuan marginal.



Kartini dan Komodifikasi Emansipasi

Kartini akan kritis terhadap kapitalisasi perjuangan perempuan. Ia akan mengkritik bagaimana “Hari Kartini” seringkali menjadi parade seremonial kosong, bukan refleksi kritis atas kondisi struktural ketimpangan.



Antara Algoritma dan Aksi Nyata

Kartini akan sadar bahwa viral belum tentu berdampak. Maka ia akan tetap mengorganisasi gerakan akar rumput di luar layar—menggabungkan dunia daring dan luring, dengan semangat “berpikir global, bertindak lokal”.



 Kartini Hari Ini: Merekonstruksi Perjuangan

Kartini hari ini bukan hanya satu orang, tapi bisa hadir dalam banyak bentuk: ibu rumah tangga yang belajar coding, mahasiswi yang membuat konten sejarah di TikTok, atau buruh perempuan yang memperjuangkan hak cuti haid di X.


Penutup: Dari Pena ke Ponsel – Emansipasi Tak Pernah Mati

Dunia berubah, alat berubah, tapi semangat Kartini tetap menyala. Ia bukan sekadar nama di buku sejarah atau simbol di kalender nasional, melainkan energi yang terus hidup dalam setiap perempuan yang berani bersuara dan mencipta perubahan.



#buttons=(Ok, Go it!) #days=(20)

Our website uses cookies to enhance your experience. Learn more
Ok, Go it!