DPP Gerakan Rakyat Konsisten Menolak RUU TNI

Pernyataan Sikap Gerakan Rakyat Usai DPR Mengesahkan RUU TNI: Konsisten Menolak RUU TNI!


Setelah melalui pembahasan yang berlangsung secara maraton dengan minim partisipasi publik—bahkan hingga dilakukan di hotel mewah—Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) bersama pemerintah akhirnya menyepakati revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI). Revisi ini dijadwalkan untuk disahkan dalam Rapat Paripurna DPR RI pada Kamis, 20 Maret 2025.  




*Terdapat tiga poin utama dalam perubahan UU TNI:*

1. Penambahan Operasi Militer Selain Perang (OMSP)  

Dalam UU TNI sebelumnya, terdapat 17 tugas pokok TNI dalam OMSP. Dengan revisi ini, ditambahkan dua tugas baru, yakni:  

   - TNI dapat turut menangani kejahatan siber.  

   - TNI berwenang melindungi atau menyelamatkan warga negara serta kepentingan nasional di luar negeri.  


2. Penambahan Usia Pensiun Anggota TNI  

   - Bintara dan Tamtama: 55 tahun  

   - Perwira Pertama dan Perwira Menengah (hingga pangkat Kolonel): 58 tahun  

   - Perwira Tinggi Bintang 1: 60 tahun  

   - Perwira Tinggi Bintang 2: 61 tahun  

   - Perwira Tinggi Bintang 3: 63 tahun  

   - Perwira Tinggi Bintang 4: 65 tahun  


3. Perluasan Jabatan bagi TNI Aktif di Kementerian/Lembaga  

   Sebelumnya, hanya 10 kementerian/lembaga yang dapat ditempati oleh TNI aktif. Dengan revisi ini, jumlahnya bertambah menjadi 14, dengan tambahan:  

   - Badan Nasional Pengelolaan Perbatasan (BNPP)  

   - Badan Penanggulangan Bencana  

   - Badan Penanggulangan Terorisme  

   - Badan Keamanan Laut dan Kejaksaan Agung  


Poin ketiga terkait perluasan jabatan bagi TNI aktif di kementerian/lembaga menjadi kontroversial dan mendapat penolakan luas dari masyarakat.  


Sementara itu, sebelum revisi ini disahkan, Presiden Prabowo mengumpulkan 200 perwira menengah di Padepokan Garuda Yaksa, Hambalang, untuk mendapatkan pelatihan bisnis. Rencananya, mereka akan ditempatkan di Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Fakta ini semakin memperkuat kecurigaan bahwa doktrin Dwi Fungsi TNI sedang dihidupkan kembali.  


*Sikap Gerakan Rakyat*

Berdasarkan fakta-fakta di atas, kami dari Gerakan Rakyat dengan tegas menyatakan:  


1. Revisi UU TNI yang dibahas secara kilat, tidak transparan, dan minim partisipasi publik merupakan bentuk cacat prosedural serta pengingkaran terhadap prinsip demokrasi dan kedaulatan rakyat.  


2. Penempatan personel TNI aktif di kementerian/lembaga tidak seharusnya dilegalkan hanya karena telah terjadi atas dasar kebijakan Presiden. Dalam naskah akademik revisi UU TNI disebutkan bahwa regulasi ini dibuat untuk memberikan payung hukum bagi kebijakan tersebut. Ini adalah bentuk sesat pikir. Yang seharusnya dilakukan bukanlah melegalkan pelanggaran, tetapi menertibkannya. Solusi yang benar adalah mempensiunkan dini atau menarik semua personel TNI aktif dari jabatan sipil yang saat ini mereka duduki.  


3. Gerakan Rakyat menolak tegas revisi UU TNI terkait perluasan jabatan bagi TNI aktif di kementerian/lembaga.  


Sikap kami ini didasarkan pada kecintaan terhadap TNI sebagai kekuatan profesional pertahanan negara. *Kami ingin memastikan bahwa TNI tetap fokus pada tugas pokoknya—bukan terseret ke dalam ranah birokrasi sipil yang dapat mengganggu profesionalisme dan netralitasnya.*


Situasi damai dan surplus jumlah jenderal di TNI bukanlah alasan yang dapat dibenarkan untuk menempatkan tentara dalam jabatan sipil. Justru, di masa damai, TNI harus terus berlatih, meningkatkan profesionalisme, dan menguasai teknologi militer modern agar siap menghadapi ancaman kedaulatan NKRI kapan saja.  


Selain itu, maraknya korupsi di kalangan sipil serta banyaknya anggota Polri yang menempati jabatan di kementerian/lembaga tidak bisa dijadikan alasan untuk membiarkan TNI melakukan hal yang sama. Korupsi yang merajalela selama 10 tahun terakhir terjadi bukan karena semata-mata ulah sipil, tetapi akibat lemahnya penegakan hukum dan tidak adanya political will dari pemimpin tertinggi pemerintahan.  


Presiden Jokowi bahkan terbukti melemahkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sehingga korupsi semakin merajalela. Baik sipil maupun militer memiliki peluang yang sama untuk menjadi korup jika demokrasi dimatikan dan hukum tidak ditegakkan.  


Maraknya polisi yang menyebar di birokrasi dan BUMN juga tidak bisa menjadi pembenaran bagi TNI untuk ikut melakukan hal serupa. Justru, yang seharusnya dilakukan adalah menarik seluruh personel aktif—baik Polri maupun TNI—dari jabatan sipil, serta memastikan mereka tetap berada dalam institusi masing-masing.  


Praktik militerisme di masa lalu—melalui doktrin Dwi Fungsi ABRI—telah meninggalkan catatan kelam berupa:  

- Perusakan demokrasi  

- Pelemahan profesionalisme TNI sebagai kekuatan pertahanan  

- Pelanggaran HAM yang meluas  

- Korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang akut  


*_Sejarah kelam ini harus dikubur dan tidak boleh terulang kembali.*_


Jakarta, 20 Maret 2025  

Gerakan Rakyat  


Yusuf Lakaseng  

Wakil Ketua Umum  

Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan

#buttons=(Ok, Go it!) #days=(20)

Our website uses cookies to enhance your experience. Learn more
Ok, Go it!