PKKPR Menjadi Dasar Penerbitan SHM/SHGB Laut Kohod Kabupaten Tangerang

Tangerang (10/02/25) - Terungkapnya aturan yang menjadi dasar penerbitan sertifikat laut di wilayah Tangerang menunjukkan pentingnya proses administrasi yang harus dilalui sebelum pengukuran dilakukan oleh kantor Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN). Sebelum permohonan sertifikat diajukan, langkah awal yang harus diambil adalah mendapatkan Persetujuan  Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (PKKPR). Proses ini bertujuan untuk memastikan bahwa penggunaan ruang laut sesuai dengan rencana tata ruang yang telah ditetapkan, sehingga dapat menghindari konflik penggunaan lahan di masa mendatang.





Dalam periode antara tahun 2021 hingga 2023, Kantor Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Tangerang telah menerbitkan sebanyak 263 sertifikat laut yang terdiri dari Hak Guna Bangunan (SHGB) dan Sertifikat Hak Milik (SHM). Namun, dari jumlah tersebut, sebanyak 50 sertifikat yang diterbitkan di kawasan pesisir Desa Kohod telah dibatalkan oleh  ATR/BPN, dengan proses pembatalan tersebut disaksikan oleh Menteri Nusron Wahid. Pembatalan ini menimbulkan pertanyaan mengenai keabsahan dan prosedur yang diikuti dalam penerbitan sertifikat-sertifikat tersebut.


Masyarakat Desa Kohod, yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Anti Kezaliman (AMAK), mengungkapkan kecurigaan adanya keterlibatan oknum serta lembaga negara dalam proses penerbitan ratusan sertifikat di atas laut Tangerang. Mereka menyoroti peran Kepala Desa Kohod, Arsin, serta pihak-pihak lain seperti Pemerintah dan DPRD Kabupaten Tangerang, serta Kantor ATR/BPN Kabupaten Tangerang. Kecurigaan ini mencerminkan kekhawatiran masyarakat terhadap potensi penyalahgunaan wewenang dan ketidakadilan dalam penguasaan ruang laut yang seharusnya dikelola secara transparan dan akuntabel.


Terdapat tiga tahapan dalam proses ini, di mana Arsin, yang menjabat sebagai Kepala Desa Kohod , diduga kuat terlibat dalam pemalsuan dokumen permohonan serta dokumen terkait tanah. Dokumen-dokumen tersebut mencakup girik, surat keterangan tanah, dan SPPT (Surat Pemberitahuan Pajak Terutang), yang kemudian diajukan kepada Badan Pertanahan Nasional (BPN). Hal ini diungkapkan oleh Henri, kuasa hukum AMAK, dari sumber yang mengkonfirmasi pada Senin, 3 Februari 2025.


Henri menjelaskan bahwa sebelum pengukuran dilakukan oleh kantor Agraria dan Tata Ruang/BPN, terdapat langkah awal yang harus dilalui, yaitu pengajuan Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (PKKPR). Proses ini menjadi penting karena PKKPR harus disetujui terlebih dahulu sebelum permohonan pengukuran dapat diajukan. PKKPR ini menunjukkan bahwa lokasi yang diajukan oleh pemohon, dalam hal ini kepala desa, telah memenuhi syarat yang ditetapkan.


Selain itu, terdapat dugaan bahwa Kades Arsin telah menggelapkan identitas warga untuk keperluan penerbitan dokumen tanah, termasuk girik, surat keterangan tanah, dan SPPT, yang berkaitan dengan tanah laut tersebut. Tindakan ini menimbulkan pertanyaan serius mengenai integritas dan transparansi dalam pengelolaan dokumen pertanahan di wilayah tersebut, serta dampaknya terhadap hak-hak masyarakat yang seharusnya dilindungi.


Di lokasi tersebut terdapat sebuah pemukiman, sehingga Kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Tangerang sudah mendapatkan Persetujuan Kelayakan Kegiatan Penataan Ruang (PKKPR) dan melakukan pengukuran. Namun, terdapat permasalahan terkait dasar dari PKKPR tersebut, yang merujuk pada Peraturan Daerah (Perda) nomor 9 tahun 2020 yang disetujui pada tahun 2022. Dalam Perda tersebut terdapat rencana untuk melakukan reklamasi, yang menjadi sorotan dalam konteks ini.


Henri menjelaskan bahwa sesuai dengan ketentuan yang berlaku, reklamasi pantai harus mengikuti dua prosedur perizinan yang diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2012, yaitu izin lokasi dan izin pelaksanaan. Proses perizinan ini penting untuk memastikan bahwa setiap langkah dalam reklamasi dilakukan sesuai dengan regulasi yang ada dan tidak melanggar ketentuan yang telah ditetapkan.


Mengenai status perizinan, Henri menegaskan bahwa izin lokasi telah diperoleh (PKKPR-sekarang), namun izin pelaksanaan masih belum didapatkan. Izin lokasi dapat diperoleh dari pemerintah daerah setempat, dalam hal ini Kabupaten Tangerang, sedangkan izin pelaksanaan harus dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat. Hal ini menunjukkan adanya hierarki dalam pengambilan keputusan terkait reklamasi yang harus diikuti untuk memastikan kepatuhan terhadap peraturan yang berlaku.


Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Tangerang Nomor 9 Tahun 2020  tentang Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW), yang merupakan hasil dari perubahan Perda Nomor 13 Tahun 2011 mengenai Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Tangerang untuk periode 2011 hingga 2031. Perda ini merupakan produk hukum yang dihasilkan pada masa kepemimpinan Bupati Tangerang Ahmed Zaki Iskandar dan Ketua DPRD Kholid Ismail, yang keduanya memiliki peran penting dalam pengembangan wilayah Pantai Utara Kabupaten Tangerang. Dengan adanya peraturan ini, diharapkan dapat memberikan kepastian hukum dan pengaturan yang lebih baik terkait penggunaan ruang laut di daerah tersebut.


Proses penerbitan sertifikat laut ini melibatkan beberapa pihak, di mana Bupati Ahmed Zaki Iskandar berperan sebagai pengambil keputusan utama. Meskipun Perda ini disusun pada tahun 2020, dan pengesahannya baru dilakukan pada tahun 2022. Kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Tangerang berfungsi sebagai operator yang mengelola proses administrasi, sementara Pemerintah Kabupaten Tangerang bertanggung jawab atas kebijakan yang mendasari penerbitan sertifikat tersebut. Sehingga terdapat tiga pihak yang terlibat dalam proses ini, yaitu pemohon yang dikoordinasikan oleh Kepala Desa, BPN sebagai pengolah data, dan Pemerintah Kabupaten Tangerang yang memberikan kebijakan terkait.


Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (PKKPR) oleh Pemkab Tangerang didasarkan pada luas lahan yang diajukan untuk sertifikasi, yang tidak melebihi dua hektar, dengan rata-rata luas masing-masing bidang sekitar 1,5 hektar. Hal ini memberikan kewenangan kepada tingkat kabupaten untuk menerbitkan sertifikat, di mana BPN Kabupaten Tangerang memiliki otoritas dalam pengelolaan bidang tanah dengan luas tersebut. Apabila luas bidang tanah melebihi dua hektar, proses sertifikasi harus diterbitkan  oleh Kantor Badan Pertanahan di atasnya atau Kementerian  ATR/BPN. Untuk mempermudah pengelolaan, bidang tanah yang lebih luas tersebut dapat dipecah menjadi beberapa bagian yang lebih kecil.


Henri mengungkapkan bahwa ATR/BPN tidak menjalankan tugasnya dengan baik, sehingga ratusan sertifikat yang diajukan oleh oknum Kepala Desa berdasarkan Peraturan Daerah RTRW nomor 9 Tahun 2020 diterbitkan secara sembarangan. Ia menekankan bahwa BPN seharusnya melakukan verifikasi lapangan untuk memastikan keabsahan data sebelum menerbitkan sertifikat. Namun, yang terjadi adalah fokus pada kelengkapan dokumen tanpa melakukan pemeriksaan faktual, sehingga proses birokrasi menjadi tidak efektif. Pengukuran yang dilakukan menggunakan drone juga tidak menggantikan perlunya pemeriksaan langsung di lapangan.


AMAK,  sebagai wadah yang mewakili warga Desa Kohod, belum dapat memastikan jumlah Nomor Induk Kependudukan (NIK) yang dicatut oleh oknum Kepala Desa Arsin untuk pengajuan sertifikat laut. Namun, berdasarkan data yang ada, hanya satu warga bernama Nasrullah yang diketahui dicatut dalam penerbitan sertifikat laut yang tidak sah tersebut. Situasi ini menunjukkan perlunya pengawasan yang lebih ketat terhadap proses penerbitan sertifikat agar tidak ada penyalahgunaan wewenang yang merugikan masyarakat.


Dalam konteks pengelolaan data kepemilikan tanah, terdapat satu kasus yang mencuat di Desa Kohod, di mana informasi yang tercantum dalam data AMAK digunakan tanpa sepengetahuan pemiliknya. Hal ini terjadi karena tidak semua warga desa tersebut terlibat dalam program AMAK. Selain itu, pihak yang tidak terdaftar dalam program ini juga belum memberikan laporan, sehingga masih ada kemungkinan adanya individu lain yang terpengaruh. Proses pembuatan Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) dan pengajuan Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) dilakukan tanpa sepengetahuan pemilik, yang mengakibatkan kesulitan dalam verifikasi data karena diperlukan Nomor Induk Kependudukan (NIK) untuk melakukan pengecekan.


Dalam situasi ini, Kepala Desa Arsin, sebagaimana diungkapkan oleh Henri, menawarkan kompensasi finansial sebesar Rp.15juta kepada warga yang bersedia menyerahkan data NIK mereka. Tujuan dari kompensasi ini adalah untuk memfasilitasi pengajuan penerbitan sertifikat laut yang diinginkan. Meskipun demikian, Henri menegaskan bahwa mereka belum mengetahui siapa saja warga yang akan menerima kompensasi tersebut, meskipun informasi mengenai tawaran ini telah menyebar luas di kalangan masyarakat.


Proses pembatalan sertifikat kepemilikan tanah yang telah diterbitkan tidaklah sederhana. Tindakan ini berpotensi menimbulkan gugatan hukum yang dapat diajukan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Hal ini menunjukkan kompleksitas dan tantangan yang dihadapi dalam menyelesaikan masalah terkait kepemilikan tanah, terutama ketika melibatkan data yang tidak akurat atau tidak sah. Oleh karena itu, diperlukan pendekatan yang hati-hati dan transparan dalam menangani isu-isu yang berkaitan dengan sertifikat tanah agar tidak menimbulkan konflik di kemudian hari.


#buttons=(Ok, Go it!) #days=(20)

Our website uses cookies to enhance your experience. Learn more
Ok, Go it!