Tangerang - Menurut Dedi Kurniadi, yang menjabat sebagai Ketua Umum Forum Komunikasi Masyarakat Kabupaten Tangerang (Fokusmatang), kasus Sertipikat Laut melibatkan berbagai pihak yang berperan dalam prosesnya. Pertama-tama, di tingkat desa, terdapat keterlibatan aparat desa mulai dari Kepala Desa hingga staf desa yang bertugas dalam penerbitan dokumen PM-1.
"Dokumen ini mencakup berbagai surat, seperti Surat Keterangan Penguasaan Fisik yang dikeluarkan secara sporadis, Surat Keterangan Tidak Sengketa, serta proses penerbitan girik-girik yang seolah-olah menjadi dasar kepemilikan, meskipun secara faktual keberadaan girik-girik tersebut di laut diragukan," ujar Dedi Kurniadi.
Lebih lanjut Dedi Kurniadi menjelaskan, pada tingkat legalisasi lokasi yang dianggap sebagai tanah darat, proses ini melibatkan Kantor Jasa Surveyor Berlisensi (KJSB) dan Badan Pendapatan Daerah Kabupaten Tangerang. Dalam tahap ini, dokumen seperti SPPT diterbitkan untuk mendukung klaim kepemilikan tanah yang sebenarnya merupakan wilayah laut. Proses ini menunjukkan adanya kolaborasi antara berbagai instansi untuk melegitimasi status tanah yang seharusnya tidak dapat diklaim sebagai milik pribadi atau korporasi.
"Dalam proses peralihan hak atau jual beli, keterlibatan notaris, pihak penjual dan pembeli, baik individu maupun korporasi, serta saksi-saksi menjadi sangat penting. Dan untuk pendapatan BPHTB, Bapenda harus transparan pada publik dan BPK,” ungkap Dedi Kurniadi.
Dedi Kurniadi melanjutkan, bahwa pada tahap persiapan pengukuran tanah oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN), Pemda dan DPRD juga terlibat dalam melegitimasi lokasi laut untuk diukur, yang memerlukan perubahan dalam Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW). Penerbitan sertifikat melibatkan BPN Tangerang, Kanwil, dan BPN Pusat, dengan ketentuan tertentu berdasarkan luas lahan yang dimohon.
"Dalam konteks ini, Arsin hanya berperan sebagai aktor kecil di tingkat desa, sama seperti kepala desa lainnya di Kabupaten Tangerang yang memiliki wilayah laut,"pungkasnya.