Jakarta (03/01) - Mahkamah Konstitusi (MK) mengejutkan publik di awal tahun 2025 dengan keputusan untuk menghapus ketentuan ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden. MK menilai bahwa ketentuan tersebut bertentangan dengan hak politik dan kedaulatan rakyat yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945. Keputusan ini mencerminkan komitmen MK untuk menjaga prinsip-prinsip demokrasi dan memberikan ruang yang lebih luas bagi partisipasi politik masyarakat dalam pemilihan umum.
Putusan tersebut diumumkan pada hari Kamis, 2 Januari, setelah MK mengadili empat perkara yang berkaitan dengan uji materi terhadap Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Pasal ini sebelumnya mengatur bahwa calon presiden dan wakil presiden hanya dapat diusung oleh partai politik atau gabungan partai yang memiliki minimal 20% dari total kursi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) atau yang memperoleh 25% dari suara sah nasional pada pemilu legislatif sebelumnya. Dengan dihapuskannya ketentuan ini, MK memberikan sinyal bahwa akses untuk mencalonkan diri sebagai pemimpin negara harus lebih inklusif.
Sejak ketentuan ini diterapkan, MK telah melakukan uji materi terhadap pasal tersebut sebanyak 32 kali. Sebelum keputusan terbaru ini, MK telah menangani 32 perkara terkait ambang batas, di mana 24 perkara dinyatakan tidak dapat diterima, enam ditolak, dan dua ditarik kembali. Keputusan ini menunjukkan bahwa MK terus berupaya untuk menegakkan keadilan dan memastikan bahwa setiap warga negara memiliki hak yang sama dalam berpartisipasi dalam proses politik, tanpa adanya batasan yang dianggap tidak konstitusional.
Perubahan sikap Mahkamah Konstitusi (MK) terkait ambang batas pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden menjadi sorotan penting dalam konteks hukum dan politik di Indonesia. Wakil Ketua MK, Saldi Isra, menjelaskan bahwa pergeseran ini tidak hanya berkaitan dengan angka atau persentase tertentu, melainkan menyentuh aspek yang lebih fundamental mengenai prinsip-prinsip konstitusi. Hal ini menunjukkan bahwa MK berupaya untuk menegakkan nilai-nilai yang terkandung dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, khususnya dalam hal pengaturan pemilihan umum.
Saldi Isra menegaskan bahwa rezim ambang batas yang diterapkan dalam pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden, terlepas dari besaran persentase yang ditetapkan, dianggap bertentangan dengan ketentuan yang terdapat dalam pasal 6A, ayat 2, UUD 1945. Ketentuan ini mengatur tentang hak setiap warga negara untuk berpartisipasi dalam pemilihan umum, dan dengan demikian, adanya ambang batas yang terlalu tinggi dapat menghambat partisipasi politik yang lebih luas. Oleh karena itu, MK berkomitmen untuk memastikan bahwa setiap kebijakan yang diambil tidak hanya sesuai dengan regulasi yang ada, tetapi juga mencerminkan semangat demokrasi yang inklusif.
Dengan demikian, perubahan pendirian MK ini mencerminkan upaya untuk menjaga integritas sistem pemilihan umum di Indonesia. MK berperan sebagai lembaga yang tidak hanya menafsirkan hukum, tetapi juga menjaga agar prinsip-prinsip demokrasi tetap terjaga. Dalam konteks ini, penting bagi semua pihak untuk memahami bahwa keputusan MK bukan hanya sekadar soal angka, tetapi juga berkaitan dengan keadilan dan kesempatan yang sama bagi semua calon dalam proses pemilihan, sehingga dapat menciptakan iklim politik yang lebih sehat dan demokratis.
Dalam analisis hukumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) mengamati bahwa pemilihan presiden selama ini didominasi oleh kandidat-kandidat yang diusung oleh partai politik tertentu. Dominasi ini dianggap sebagai suatu bentuk pembatasan terhadap hak konstitusional pemilih, yang seharusnya memiliki akses terhadap pilihan alternatif yang lebih beragam dan memadai. Dengan demikian, pemilih tidak dapat sepenuhnya mengekspresikan preferensi politik mereka, yang seharusnya menjadi salah satu pilar demokrasi.
Selain itu, ketentuan mengenai ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold dinilai cenderung menghasilkan hanya dua pasangan calon dalam setiap pemilihan presiden. Kondisi ini berpotensi menciptakan polarisasi di masyarakat, di mana pemilih terjebak dalam pilihan yang terbatas dan tidak dapat mengeksplorasi berbagai opsi yang mungkin lebih sesuai dengan aspirasi mereka. Polarisasi ini dapat mengakibatkan ketegangan sosial yang lebih besar, serta mengurangi kualitas demokrasi itu sendiri.
Jika ketentuan tersebut dibiarkan tanpa adanya perubahan, MK mengkhawatirkan bahwa pada akhirnya hanya akan ada satu pasangan calon yang muncul dalam pemilihan presiden. Fenomena ini semakin diperparah dengan meningkatnya kasus calon tunggal yang bersaing melawan kotak kosong dalam pemilihan kepala daerah, yang menunjukkan tren yang mengkhawatirkan dalam sistem pemilihan di Indonesia. Oleh karena itu, penting untuk mempertimbangkan revisi terhadap aturan yang ada agar pemilih dapat memiliki lebih banyak pilihan dan untuk menjaga keberagaman dalam proses demokrasi.
Mahkamah Konstitusi (MK) menilai bahwa jumlah calon presiden dan wakil presiden yang berlebihan dapat mengganggu esensi dari pelaksanaan pemilu langsung oleh rakyat. Oleh karena itu, MK memberikan arahan kepada pembentuk undang-undang untuk melakukan "rekayasa konstitusional" atau revisi terhadap undang-undang guna mencegah terjadinya jumlah calon yang terlalu banyak dalam pemilihan presiden.
Arahan yang diberikan oleh MK mencakup beberapa poin penting. Pertama, setiap partai politik yang berpartisipasi dalam pemilu memiliki hak untuk mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden. Kedua, pengusulan pasangan calon tersebut tidak boleh didasarkan pada persentase jumlah kursi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) atau hasil suara sah secara nasional. Ketiga, partai politik dapat berkolaborasi dalam mengusulkan pasangan calon, asalkan kolaborasi tersebut tidak mengakibatkan dominasi yang membatasi pilihan calon presiden dan wakil presiden bagi pemilih. Keempat, partai politik yang tidak mengusulkan pasangan calon akan dikenakan sanksi berupa larangan untuk mengikuti pemilu pada periode berikutnya. Terakhir, perumusan rekayasa konstitusional yang dimaksud harus melibatkan partisipasi dari semua pihak yang peduli terhadap penyelenggaraan pemilu, termasuk partai politik yang tidak memiliki kursi di DPR, dengan menerapkan prinsip partisipasi publik yang bermakna.